Friday, September 22, 2017

A Little Story About Life. (Cerpen)


Foto
Metamorfosa

Foto yang kupegang kini terlihat semakin kusam, seiring memudarnya putaran memori-memori yang telah kulalui. Pelan-pelan kuusap debu-debu yang menempel di bingkainya. Kutatap satu persatu wajah-wajah di foto itu. Di pojok kanan. Terlihat seorang lelaki paruh baya yang tampan sedang tersenyum merangkul perempuan muda cantik yang tidak lain adalah sang istri. Dan satu lagi wajah yang sangat kukenali. Seorang anak berusia 7 tahun yang sedang digendong oleh ibunya. Ya, aku sendiri.
            “Sluurp..” kunikmati secangkir kopi panas sambil menikmati bintang dan angin malam melalui jendela kamarku. Kelip kunang- kunang bertebaran menghiasi gelapnya cakrawala. Cahaya emasnya seperti komet kecil yang tercecer di udara. Terlihat pula bulan sedang bersinar benderang. Ia seolah tersenyum kepadaku. Pemandangan ini sungguh tak asing bagiku.
            Kalender sudah menunjukkan tanggal 26 Agustus 2035. Ah, rupanya kini 15 tahun sudah sejak kami duduk bersama-sama menikmati indahnya langit malam. Suara jangkrik, kilau bintang, bahkan terpaan semilir angin seakan masih kurasakan. Malam itu, malam yang dingin. Namun tidak sanggup menembus hangatnya kasih sayang mereka. Aku ingin merasakan suasana itu lagi. Cukup hanya sekali lagi. Tapi aku sadar, kini aku sudah tak bisa.
***
            “Sebuah komet langka yang muncul 20.000 tahun sekali diprediksi akan dapat dilihat nanti malam, tanggal 26 Agustus 2020 pukul 03.00 WIB. Terutama bagi anda yang berada di wilayah kota Atanis, adalah titik terdekat dengan jalur lintasan komet sehingga komet akan terlihat jelas. Komet ini bercahaya emas. Tidak seperti komet lain yang sinarnya putih. Pastikan anda melihatnya!” Berita itu muncul lagi di acara TV yang kami tonton pagi ini. “Wah, nanti malam ya? Pas sekali ya, kita tinggal di kota ini?” celetuk ayah. “Yah, Imel juga pengen liat kometnya!” Seruku. “Iya, tunggu nanti malam ya?’ Jawab ayah lembut sambil membelai kepalaku. “Sabar Imel, Ibu juga pengen liat kok. Sarapan dulu yuk!” Ibu menimpali.
            Pagi ini berjalan seperti biasanya. Terlihat ayah sedang bersiap pergi bekerja. Semerbak masakan ibu menyebar ke seluruh ruangan. Percakapan keluarga yang akrab. Ya, seperti biasa. Mereka selalu tersenyum kepadaku. Selalu membelai kepalaku dengan lembut. Selalu ada saat aku membutuhkan. Sekarang, aku ingin waktu terhenti. Terus seperti ini.
***

            Malam ini, berlangsung sangat indah. Dengan beralaskan tikar pandan, dan diterangi lampu taman kota, kami pun duduk berimpitan sambil menunjuk langit. “Imel, lihat itu kometnya!” Seru ayah sambil menunjuk sebuah cahaya emas yang melesat di tengah kegelapan langit. “Selamat ulang tahun, Imel!” Teriak ayah dan ibu tiba-tiba bersamaan sambil memelukku. “Hadiahnya nanti ya, dirumah?” Kata mereka sambil menatapku lembut. Berkilau. Malam ini langit sungguh berkilauan. Sangat berkilau hingga cahayanya menyilaukan mataku. Apa ini? Mengapa cahayanya semakin besar dan mendekat? Apakah komet memang seperti ini? Mendadak udara terasa panas. Apakah karena ayah dan ibu memelukku terlalu erat? “Kaak...kaakk!” Burung-burung gagak terbang menyebar meninggalkan sangkarnya. “Ayah, Ibu, aku silau!” Seruku.
 “BLAMM!!!.....PSSSHH....”

Gelap. Semua berubah menjadi gelap. Kabut asap mengikutiku kemanapun aku berlari. “Ayah, Ibu... aku takut....hiks..hiks...” Aku terus berteriak dan berlari. Namun semua yang tampak hanya ke gelapan. Yang terdengar hanya kesunyian malam. “Tolong.. tolong aku...siapapun...” Walau bagaimanapun kerasnya aku berteriak, semua orang hanya diam tergeletak di tempatnya. Seakan aku benar-benar sendirian di dunia yang suram ini. Aku terus berlari, aku ingin pulang dan segera bangun dari mimpi buruk ini. Tetapi, dimana? Dimana rumahku? Aku tahu persis jalannya. Aku tahu rumahku disini, tapi mengapa semuanya hanya puing-puing bangunan? Aku terpaku menatap langit. Berusaha meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya mimpi. Ayo! Bangunlah! Mengapa aku tidak bisa bangun? Ini kan hanya mimpi buruk?
“Imel....” Hah? Itu suara ayah. Aku menoleh kebelakang. “Ayah?” Tatapku nanar melihatnya berjalan terseok-seok. Nafasnya tersengal-sengal. Bajunya robek dimana-mana. Kulitnya penuh dengan goresan hitam akibat luka bakar. “Imel, maafkan ayah dan ibu, hadiahnya nggak jadi sekarang ya?” Tanya ayah. “Iya yah...nggak papa, tapi mana ibu Yah? Imel mau ketemu ibu. Hiks..hiks..”
Ayah terdiam sejenak. “Kamu jangan nangis, ayah disini kok. Jadilah anak yang baik ya Imel? Janji?” Kata ayah sambil mengacungkan kelingkingnya, lalu memelukku. Semakin lama, pelukan itu semakin erat lalu mulai merenggang, dan merenggang hingga ayah jatuh tergeletak di atas puing bangunan. Aku tak menyangka itu adalah pelukan terakhirku dengan ayah. Tak kuasa lagi aku membendung air mataku. Sekarang ini aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. “Ayaahh!!...Hiks...hiks...”
***
            Entah bagaimana aku bisa bertahan hidup dari kejadian maut itu. Mungkin Tuhan telah menakdirkan ayah dan ibu untuk memelukku dan melindungiku. Mereka adalah malaikatku. Yang jelas, setelah itu hingga sekarang aku tinggal bersama paman di kota ini, Kediri.
             Kutatap foto itu sekali lagi. Foto berlatar belakang rumahku dahulu. Foto yang telah menjadi bukti kasih sayang kami bertiga. Foto yang kupungut ditengah puing bangunan beserta tas sekolah kecil bertuliskan “Selamat ulang tahun Imel sayang....jadilah anak yang baik ya? Ayah dan ibu menyayangimu..” Foto yang telah menjadi saksi bisu sebelum hilangnya kota kelahiranku, Atanis.
            Ah, mengapa setiap aku menatap langit malam harus begini? Lagi-lagi aku harus mengelap foto yang basah dengan air mata. Tidak apa-apa, karena dengan begini aku akan semakin sering untuk membersihkannya. Semoga kalian bahagia disana, ayah...ibu...


No comments:

Post a Comment

Cegah Anak Kecanduan Gadget dengan Lolipop

Gejala kecanduan gadget menurut Wardhani, 2018: 1. Memegang dan bermain gadget lebih dari 5 kali dalam sehari 2. Merasa bingung, resah, da...