Monday, November 13, 2017

Menuju KeridhaanNya (Cerpen)

Menuju Keridhaan-Nya
Metamorfosa


Hasil gambar untuk boston harvard university

Wajah-wajah manusia itu terlihat tentram. Suara mereka melantunkan ayat-ayat suci semakin menambah suasana syahdu. Kulihat lantai marmer yang kupijak merefleksikan semburat sinar jingga. Langit yang semula biru kini disaput oleh nuansa oranye tipis sebagaimana yang terjadi ketika siang mulai beranjak senja. Seorang laki-laki muda terlihat sedang berjalan menuju microphone yang terletak dekat dengan mimbar kuno berukiran tumbuh-tumbuhan. Beberapa saat kemudian, suara adzan berkumandang bersahutan  diiringi dengan semakin gelapnya hari. Kusingsingkan kedua lengan baju, dan mulai membasahi tanganku dengan air wudhu.
          Sudah 3 tahun aku terjebak disini. Tepat sekali, di dalam pesantren yang kuanggap sebagai "penjara suci" ini untuk memenuhi kehendak papa. Jika saja peristiwa itu tidak terjadi, pasti sekarang aku sudah berada di universitas paling fenomenal di dunia. Ya, Harvard University. Namun, kenyataannya sekarang, justru tak pernah terduga.
Dulu aku termasuk siswa yang bisa dibilang cukup "popular" di SMA. Peraih ranking 1 paralel setiap semester, peraih juara dalam setiap kompetisi olahraga, perwakilan sekolah dalam setiap olimpiade matematika tingkat internasional, duta anti narkoba dan terpilih menjadi ketua OSIS. Tidak cukup sampai disitu, ayahku adalah seorang pengusaha besar yang sering keliling dunia. Ibuku adalah perempuan keturunan Jawa-Belanda berdarah biru. Oleh sebab itu, banyak teman-temanku yang terkagum-kagum terhadap hidupku yang menurut mereka terlalu sempurna. Namun sesempurna-sempurnanya manusia pasti memiliki kelemahan juga. Satu hal yang telah membuatku gagal melanjutkan pendidikanku ke Harvard University adalah; aku tidak bisa membaca kitabku sendiri! Al Qur'an.
          Mungkin kalian bertanya, bagaimana bisa hanya itu sebabnya? Di sana kan tidak ada syarat masuk harus bisa membaca dan menulis bahasa arab? Memang tidak. Aku pun sebenarnya sudah mendaftar dan diterima bersekolah di sana. Jika kau tidak percaya, buka saja almari pakaianku. Maka kau akan mendapati sederet foto-foto terpampang nyata di pintunya. Lihat! Itu aku di depan Buckingham Palace. Disampingnya ada aku bersama Tower Bridge dan England Marine Aquarium serta tempat terkenal lain. Dan foto yang terakhir, aku di depan Harvard University. Pengalaman itu masih jelas terpancang di ingatanku. Ingin ku kembali ke masa laluku yang serba sempurna itu. Tidak seperti sekarang, kehidupan sehari-hariku sebagai santri pesantren biasa. Namun apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain. Waktu pun tidak bisa kembali diputar.
***
Tiga tahun lalu. Tepat setelah pengumuman diterimanya aku di Hardvard University. Harapanku semakin menebal seiring dengan terkembangnya senyuman di wajahku. Kubayangkan betapa senang dan bangganya mama dan papa melihat anaknya diterima di universitas ternama di dunia.Kulirik jam tangan hadiah dari papa, menunjukkan pukul 09.00.
"Sir, can we go little fast?" Pintaku pada sopir taksi.
Aku harus sampai di bandara London Heathrow paling tidak pukul 09.10. Karena maskapai yang kutumpangi akan take off pada pukul 09.20.
          "Bismillahirrahmanirrahiim......" Bisikku ketika pesawat sudah mulai berjalan.
***
          Jakarta, bandara Halim Perdana Kusuma, pukul 21.20 WIB. Sambil menggeledek tas koperku, aku turun dari tangga pesawat. Kulihat keanehan yang terjadi di sekeliling bandara. Ambulance berlalu-lalang, banyak orang dengan mata merah dan sembab tampak mengharapkan sesuatu. Kepulan asap dari sisi utara bandara yang membumbung tinggi namun tidak terlalu terlihat jelas karena letaknya yang cukup jauh. Walaupun kakiku terus melangkah, mataku tetap lekat dan tidak bisa lepas melihat pemandangan itu dengan penuh keheranan.
          "Dio!" sepertinya aku mengenal suara itu. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara tersebut.
          "Mama! Assalamualaikum, Ma!" seruku setelah menemukan suara itu yang ternyata adalah mama.
          "Wa`alaikumsalam!" Jawab mamaku dengan suara layu.
Tidak seperti biasanya. Mata cantiknya pun terlihat memerah dengan bekas titik-titik air mata di sela-sela bulu matanya yang lentik dan hitam. Dahinya berkerut menandakan kekhawatiran. Senyumnya yang biasanya merekah kini nampaknya tidak ada di wajah berparas ayu khas Jawa-Belandanya itu. Entah mengapa.
Melihat itu semua, segera kuhibur mama. Dengan antusias, kuceritakan semua pengalamanku ketika aku mengikuti tes di sana. Mulai dari pengalamanku bertemu teman baru, mencoba kuliner setempat dan beberapa tempat wisata di Boston. Kuceritakan suasana bersih dan betapa tertibnya lalu lintas di sana. Dan yang terakhir, kuceritakan juga hasil tes masukku di Harvard University.
Aku heran. Tidak ada respon sama sekali.
"Ibu, anakmu diterima di Harvard, Bu! Engkau seharusnya bangga!" Batinku.
"Dio, sebaiknya kau tidak usah neko-neko, ke pesantren saja. Belajarlah dulu membaca Al-Qur`an. Baru belajar yang lainnya" Kata mama tiba-tiba.
          Aku hanya terdiam. Apakah aku salah dengar? Apakah ini mimpi? Apa kata ibu barusan? Itu terdengar seperti petir bagiku. Tapi mengapa? Apa salahku? Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mama. Lalu apa gunanya ini semua? Hanya menghabiskan uang, waktu dan tenaga untuk jauh-jauh ke Boston. Dan berakhir di... pesantren? Apa-apaan ini?
***
          Sekarang aku sudah tahu. Papa yang menyuruhku untuk ke pesantren. Ia telah berwasiat sebelum nafas terakhirnya dihembuskan. Ya, papa mengalami kecelakaan saat ia pulang dari perjalanan bisnisnya di Jerman. Hampir bersamaan dengan kedatanganku di Jakarta. Pesawat Skyscanner yang ia tumpangi mengalami kegagalan saat melakukan landing di bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Ternyata kepulan asap itu berasal dari pesawat yang papa tumpangi. Akhirnya, mau tidak mau. Sebagai anak yang baik aku harus melaksanakan wasiatnya. Aku tahu, papa hanya ingin yang terbaik untuk anaknya agar tidak hanya sukses di dunia saja.
          Kini, tiga tahun sudah aku nyantri. Bahkan, tidak tanggung-tanggung hafalanku sudah 30 juz. Alhamdulillah. Aku diberi kelebihan oleh yang Maha Kuasa untuk dapat melakukannya hanya dalam waktu tiga tahun. Lumayanlah, dibandingkan rata-rata santri di sini yang membutuhkan waktu 4-5 tahun untuk melakukannya, padahal mereka sudah dapat membaca dan menulis Al-Qur`an. Tidak seperti aku yang benar-benar belajar dari nol.
          "Akhi Dio! Jangan ngelamun begitu, nggak baik lho!" Suara assatid mengagetkanku.
"Ah, eh, iya, Ustadz!" Kataku sambil bangkit berdiri.
Sudahlah, masa lalu tidak dapat kita ubah. Hanya bisa kita pelajari untuk memperbaiki masa depan. Ingat kata salah satu hadits bahwa hari ini harus lebih baik  daripada kemarin dan besok harus lebih baik daripada hari ini. Nasib manusia, Allah yang tentukan. Tugas kita hanya ikhtiar dan berdoa.Sisanya, serahkan kepada Allah dengan bertawakal. Allah lebih tahu apa jalan yang terbaik untuk kita.
***
         
         

          

Friday, September 22, 2017

A Little Story About Life. (Cerpen)


Foto
Metamorfosa

Foto yang kupegang kini terlihat semakin kusam, seiring memudarnya putaran memori-memori yang telah kulalui. Pelan-pelan kuusap debu-debu yang menempel di bingkainya. Kutatap satu persatu wajah-wajah di foto itu. Di pojok kanan. Terlihat seorang lelaki paruh baya yang tampan sedang tersenyum merangkul perempuan muda cantik yang tidak lain adalah sang istri. Dan satu lagi wajah yang sangat kukenali. Seorang anak berusia 7 tahun yang sedang digendong oleh ibunya. Ya, aku sendiri.
            “Sluurp..” kunikmati secangkir kopi panas sambil menikmati bintang dan angin malam melalui jendela kamarku. Kelip kunang- kunang bertebaran menghiasi gelapnya cakrawala. Cahaya emasnya seperti komet kecil yang tercecer di udara. Terlihat pula bulan sedang bersinar benderang. Ia seolah tersenyum kepadaku. Pemandangan ini sungguh tak asing bagiku.
            Kalender sudah menunjukkan tanggal 26 Agustus 2035. Ah, rupanya kini 15 tahun sudah sejak kami duduk bersama-sama menikmati indahnya langit malam. Suara jangkrik, kilau bintang, bahkan terpaan semilir angin seakan masih kurasakan. Malam itu, malam yang dingin. Namun tidak sanggup menembus hangatnya kasih sayang mereka. Aku ingin merasakan suasana itu lagi. Cukup hanya sekali lagi. Tapi aku sadar, kini aku sudah tak bisa.
***
            “Sebuah komet langka yang muncul 20.000 tahun sekali diprediksi akan dapat dilihat nanti malam, tanggal 26 Agustus 2020 pukul 03.00 WIB. Terutama bagi anda yang berada di wilayah kota Atanis, adalah titik terdekat dengan jalur lintasan komet sehingga komet akan terlihat jelas. Komet ini bercahaya emas. Tidak seperti komet lain yang sinarnya putih. Pastikan anda melihatnya!” Berita itu muncul lagi di acara TV yang kami tonton pagi ini. “Wah, nanti malam ya? Pas sekali ya, kita tinggal di kota ini?” celetuk ayah. “Yah, Imel juga pengen liat kometnya!” Seruku. “Iya, tunggu nanti malam ya?’ Jawab ayah lembut sambil membelai kepalaku. “Sabar Imel, Ibu juga pengen liat kok. Sarapan dulu yuk!” Ibu menimpali.
            Pagi ini berjalan seperti biasanya. Terlihat ayah sedang bersiap pergi bekerja. Semerbak masakan ibu menyebar ke seluruh ruangan. Percakapan keluarga yang akrab. Ya, seperti biasa. Mereka selalu tersenyum kepadaku. Selalu membelai kepalaku dengan lembut. Selalu ada saat aku membutuhkan. Sekarang, aku ingin waktu terhenti. Terus seperti ini.
***

            Malam ini, berlangsung sangat indah. Dengan beralaskan tikar pandan, dan diterangi lampu taman kota, kami pun duduk berimpitan sambil menunjuk langit. “Imel, lihat itu kometnya!” Seru ayah sambil menunjuk sebuah cahaya emas yang melesat di tengah kegelapan langit. “Selamat ulang tahun, Imel!” Teriak ayah dan ibu tiba-tiba bersamaan sambil memelukku. “Hadiahnya nanti ya, dirumah?” Kata mereka sambil menatapku lembut. Berkilau. Malam ini langit sungguh berkilauan. Sangat berkilau hingga cahayanya menyilaukan mataku. Apa ini? Mengapa cahayanya semakin besar dan mendekat? Apakah komet memang seperti ini? Mendadak udara terasa panas. Apakah karena ayah dan ibu memelukku terlalu erat? “Kaak...kaakk!” Burung-burung gagak terbang menyebar meninggalkan sangkarnya. “Ayah, Ibu, aku silau!” Seruku.
 “BLAMM!!!.....PSSSHH....”

Gelap. Semua berubah menjadi gelap. Kabut asap mengikutiku kemanapun aku berlari. “Ayah, Ibu... aku takut....hiks..hiks...” Aku terus berteriak dan berlari. Namun semua yang tampak hanya ke gelapan. Yang terdengar hanya kesunyian malam. “Tolong.. tolong aku...siapapun...” Walau bagaimanapun kerasnya aku berteriak, semua orang hanya diam tergeletak di tempatnya. Seakan aku benar-benar sendirian di dunia yang suram ini. Aku terus berlari, aku ingin pulang dan segera bangun dari mimpi buruk ini. Tetapi, dimana? Dimana rumahku? Aku tahu persis jalannya. Aku tahu rumahku disini, tapi mengapa semuanya hanya puing-puing bangunan? Aku terpaku menatap langit. Berusaha meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya mimpi. Ayo! Bangunlah! Mengapa aku tidak bisa bangun? Ini kan hanya mimpi buruk?
“Imel....” Hah? Itu suara ayah. Aku menoleh kebelakang. “Ayah?” Tatapku nanar melihatnya berjalan terseok-seok. Nafasnya tersengal-sengal. Bajunya robek dimana-mana. Kulitnya penuh dengan goresan hitam akibat luka bakar. “Imel, maafkan ayah dan ibu, hadiahnya nggak jadi sekarang ya?” Tanya ayah. “Iya yah...nggak papa, tapi mana ibu Yah? Imel mau ketemu ibu. Hiks..hiks..”
Ayah terdiam sejenak. “Kamu jangan nangis, ayah disini kok. Jadilah anak yang baik ya Imel? Janji?” Kata ayah sambil mengacungkan kelingkingnya, lalu memelukku. Semakin lama, pelukan itu semakin erat lalu mulai merenggang, dan merenggang hingga ayah jatuh tergeletak di atas puing bangunan. Aku tak menyangka itu adalah pelukan terakhirku dengan ayah. Tak kuasa lagi aku membendung air mataku. Sekarang ini aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. “Ayaahh!!...Hiks...hiks...”
***
            Entah bagaimana aku bisa bertahan hidup dari kejadian maut itu. Mungkin Tuhan telah menakdirkan ayah dan ibu untuk memelukku dan melindungiku. Mereka adalah malaikatku. Yang jelas, setelah itu hingga sekarang aku tinggal bersama paman di kota ini, Kediri.
             Kutatap foto itu sekali lagi. Foto berlatar belakang rumahku dahulu. Foto yang telah menjadi bukti kasih sayang kami bertiga. Foto yang kupungut ditengah puing bangunan beserta tas sekolah kecil bertuliskan “Selamat ulang tahun Imel sayang....jadilah anak yang baik ya? Ayah dan ibu menyayangimu..” Foto yang telah menjadi saksi bisu sebelum hilangnya kota kelahiranku, Atanis.
            Ah, mengapa setiap aku menatap langit malam harus begini? Lagi-lagi aku harus mengelap foto yang basah dengan air mata. Tidak apa-apa, karena dengan begini aku akan semakin sering untuk membersihkannya. Semoga kalian bahagia disana, ayah...ibu...


Monday, April 10, 2017

Memandang Angin (Puisi)


Hai semuanya! Saya cuma mau mengepos sedikit goresan goresan pena saya. Maafkan kalau jelek. Selamat membaca!

Memandang Angin
Metamorfosa



Semburat alunan nada
Tiada jelas, bertepi buram
Merekah ruah menjeling ria
Mengalir hingga ujung samudera

        Tarian jemari mungil
        Lincah rancak berdenting rapi
        Larut di dalam lembaran bunga abadi
        Mengundang lelapnya mimpi

Daun-daun menyanyi
Rumput-rumput tertawa
Namun hati ini tetap sunyi
Menusuk pelan namun pasti

        Setidaknya aku masih disini
        Memandang angin yang berhempas
        Siapa tahu hari esok akan tersenyum kepadaku
        Walaupun entah kapan

Tidak bisa dipungkiri lagi
Kebekuan hatiku semakin membara
Tetapi aku yakin itu semu
Karena simfoni sendu pasti berlalu




Genosida
Metamorfosa
Menelisik lebih dalam
Horizon yang penuh nuansa merah
Aroma darah merekah
Jerit dan tangis biasa sudah

            Ini bukanlah kisah klise yang klasik
            Seperti metronom yang terus berdetik
            Siapapun tentu tak bisa berbalik
            Di dalam kekalutan yang pelik

Tak ada nurani hati
Untuk emosi dan afeksi
Nyawa hanyalah mainan keji
Agar mereka berpuas diri

            Beringas mereka binal
            Dasar nista tingkahmu brutal
            Merobek kulit tanpa sesal
            Kemelut ini sungguh tak ayal

Cegah Anak Kecanduan Gadget dengan Lolipop

Gejala kecanduan gadget menurut Wardhani, 2018: 1. Memegang dan bermain gadget lebih dari 5 kali dalam sehari 2. Merasa bingung, resah, da...