Menuju Keridhaan-Nya
Metamorfosa
Wajah-wajah
manusia itu terlihat tentram. Suara mereka melantunkan ayat-ayat suci semakin
menambah suasana syahdu. Kulihat lantai marmer yang kupijak merefleksikan semburat
sinar jingga. Langit yang semula biru kini disaput oleh nuansa oranye tipis
sebagaimana yang terjadi ketika siang mulai beranjak senja. Seorang laki-laki muda
terlihat sedang berjalan menuju microphone yang terletak dekat dengan
mimbar kuno berukiran tumbuh-tumbuhan. Beberapa saat kemudian, suara adzan berkumandang
bersahutan diiringi dengan semakin
gelapnya hari. Kusingsingkan kedua lengan baju, dan mulai membasahi tanganku
dengan air wudhu.
Sudah 3 tahun aku terjebak disini. Tepat sekali, di dalam
pesantren yang kuanggap sebagai "penjara suci" ini untuk memenuhi
kehendak papa. Jika saja peristiwa itu tidak terjadi, pasti sekarang aku sudah
berada di universitas paling fenomenal di dunia. Ya, Harvard University. Namun,
kenyataannya sekarang, justru tak pernah terduga.
Dulu
aku termasuk siswa yang bisa dibilang cukup "popular" di SMA. Peraih
ranking 1 paralel setiap semester, peraih juara dalam setiap kompetisi
olahraga, perwakilan sekolah dalam setiap olimpiade matematika tingkat
internasional, duta anti narkoba dan terpilih menjadi ketua OSIS. Tidak cukup
sampai disitu, ayahku adalah seorang pengusaha besar yang sering keliling
dunia. Ibuku adalah perempuan keturunan Jawa-Belanda berdarah biru. Oleh sebab
itu, banyak teman-temanku yang terkagum-kagum terhadap hidupku yang menurut
mereka terlalu sempurna. Namun sesempurna-sempurnanya manusia pasti memiliki
kelemahan juga. Satu hal yang telah membuatku gagal melanjutkan pendidikanku ke
Harvard University adalah; aku tidak bisa membaca kitabku sendiri! Al Qur'an.
Mungkin kalian bertanya, bagaimana bisa hanya itu sebabnya?
Di sana kan tidak ada syarat masuk harus bisa membaca dan menulis bahasa
arab? Memang tidak. Aku pun sebenarnya sudah mendaftar dan diterima bersekolah di
sana. Jika kau tidak percaya, buka saja almari pakaianku. Maka kau akan
mendapati sederet foto-foto terpampang nyata di pintunya. Lihat! Itu aku di
depan Buckingham Palace. Disampingnya ada aku bersama Tower Bridge dan
England Marine Aquarium serta tempat terkenal lain. Dan foto yang
terakhir, aku di depan Harvard University. Pengalaman itu masih jelas
terpancang di ingatanku. Ingin ku kembali ke masa laluku yang serba sempurna
itu. Tidak seperti sekarang, kehidupan sehari-hariku sebagai santri pesantren
biasa. Namun apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain. Waktu pun tidak bisa
kembali diputar.
***
Tiga
tahun lalu. Tepat setelah pengumuman diterimanya aku di Hardvard University.
Harapanku semakin menebal seiring dengan terkembangnya senyuman di wajahku.
Kubayangkan betapa senang dan bangganya mama dan papa melihat anaknya diterima
di universitas ternama di dunia.Kulirik jam tangan hadiah dari papa,
menunjukkan pukul 09.00.
"Sir,
can we go little fast?" Pintaku pada sopir taksi.
Aku
harus sampai di bandara London Heathrow paling tidak pukul 09.10. Karena
maskapai yang kutumpangi akan take off pada pukul 09.20.
"Bismillahirrahmanirrahiim......" Bisikku ketika
pesawat sudah mulai berjalan.
***
Jakarta, bandara Halim Perdana Kusuma, pukul 21.20 WIB. Sambil
menggeledek tas koperku, aku turun dari tangga pesawat. Kulihat keanehan yang
terjadi di sekeliling bandara. Ambulance berlalu-lalang, banyak orang dengan
mata merah dan sembab tampak mengharapkan sesuatu. Kepulan asap dari sisi utara
bandara yang membumbung tinggi namun tidak terlalu terlihat jelas karena
letaknya yang cukup jauh. Walaupun kakiku terus melangkah, mataku tetap lekat
dan tidak bisa lepas melihat pemandangan itu dengan penuh keheranan.
"Dio!" sepertinya aku mengenal suara itu. Aku
menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari sumber suara tersebut.
"Mama! Assalamualaikum, Ma!" seruku setelah
menemukan suara itu yang ternyata adalah mama.
"Wa`alaikumsalam!" Jawab mamaku dengan suara
layu.
Tidak
seperti biasanya. Mata cantiknya pun terlihat memerah dengan bekas titik-titik
air mata di sela-sela bulu matanya yang lentik dan hitam. Dahinya berkerut
menandakan kekhawatiran. Senyumnya yang biasanya merekah kini nampaknya tidak
ada di wajah berparas ayu khas Jawa-Belandanya itu. Entah mengapa.
Melihat
itu semua, segera kuhibur mama. Dengan antusias, kuceritakan semua pengalamanku
ketika aku mengikuti tes di sana. Mulai dari pengalamanku bertemu teman baru,
mencoba kuliner setempat dan beberapa tempat wisata di Boston. Kuceritakan suasana
bersih dan betapa tertibnya lalu lintas di sana. Dan yang terakhir, kuceritakan
juga hasil tes masukku di Harvard University.
Aku
heran. Tidak ada respon sama sekali.
"Ibu,
anakmu diterima di Harvard, Bu! Engkau seharusnya bangga!" Batinku.
"Dio,
sebaiknya kau tidak usah neko-neko, ke pesantren saja. Belajarlah dulu
membaca Al-Qur`an. Baru belajar yang lainnya" Kata mama tiba-tiba.
Aku hanya terdiam. Apakah aku salah dengar? Apakah ini
mimpi? Apa kata ibu barusan? Itu terdengar seperti petir bagiku. Tapi
mengapa? Apa salahku? Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mama. Lalu apa
gunanya ini semua? Hanya menghabiskan uang, waktu dan tenaga untuk jauh-jauh ke
Boston. Dan berakhir di... pesantren? Apa-apaan ini?
***
Sekarang aku sudah tahu. Papa yang menyuruhku untuk ke
pesantren. Ia telah berwasiat sebelum nafas terakhirnya dihembuskan. Ya, papa
mengalami kecelakaan saat ia pulang dari perjalanan bisnisnya di Jerman. Hampir
bersamaan dengan kedatanganku di Jakarta. Pesawat Skyscanner yang ia tumpangi mengalami
kegagalan saat melakukan landing di bandara Halim Perdana Kusuma
Jakarta. Ternyata kepulan asap itu berasal dari pesawat yang papa tumpangi.
Akhirnya, mau tidak mau. Sebagai anak yang baik aku harus melaksanakan
wasiatnya. Aku tahu, papa hanya ingin yang terbaik untuk anaknya agar tidak
hanya sukses di dunia saja.
Kini, tiga tahun sudah aku nyantri. Bahkan, tidak
tanggung-tanggung hafalanku sudah 30 juz. Alhamdulillah. Aku diberi kelebihan
oleh yang Maha Kuasa untuk dapat melakukannya hanya dalam waktu tiga tahun.
Lumayanlah, dibandingkan rata-rata santri di sini yang membutuhkan waktu 4-5
tahun untuk melakukannya, padahal mereka sudah dapat membaca dan menulis
Al-Qur`an. Tidak seperti aku yang benar-benar belajar dari nol.
"Akhi Dio! Jangan ngelamun begitu, nggak
baik lho!" Suara assatid mengagetkanku.
"Ah,
eh, iya, Ustadz!" Kataku sambil bangkit berdiri.
Sudahlah,
masa lalu tidak dapat kita ubah. Hanya bisa kita pelajari untuk memperbaiki
masa depan. Ingat kata salah satu hadits bahwa hari ini harus lebih baik daripada kemarin dan besok harus lebih baik
daripada hari ini. Nasib manusia, Allah yang tentukan. Tugas kita hanya ikhtiar
dan berdoa.Sisanya, serahkan kepada Allah dengan bertawakal. Allah lebih
tahu apa jalan yang terbaik untuk kita.
***