Foto
Metamorfosa
Foto
yang kupegang kini terlihat semakin kusam, seiring memudarnya putaran
memori-memori yang telah kulalui. Pelan-pelan kuusap debu-debu yang menempel di
bingkainya. Kutatap satu persatu wajah-wajah di foto itu. Di pojok kanan.
Terlihat seorang lelaki paruh baya yang tampan sedang tersenyum merangkul
perempuan muda cantik yang tidak lain adalah sang istri. Dan satu lagi wajah
yang sangat kukenali. Seorang anak berusia 7 tahun yang sedang digendong oleh
ibunya. Ya, aku sendiri.
“Sluurp..”
kunikmati secangkir kopi panas sambil menikmati bintang dan angin malam melalui
jendela kamarku. Kelip kunang- kunang bertebaran menghiasi gelapnya cakrawala.
Cahaya emasnya seperti komet kecil yang tercecer di udara. Terlihat pula bulan
sedang bersinar benderang. Ia seolah tersenyum kepadaku. Pemandangan ini
sungguh tak asing bagiku.
Kalender
sudah menunjukkan tanggal 26 Agustus 2035. Ah, rupanya kini 15 tahun sudah
sejak kami duduk bersama-sama menikmati indahnya langit malam. Suara jangkrik,
kilau bintang, bahkan terpaan semilir angin seakan masih kurasakan. Malam itu,
malam yang dingin. Namun tidak sanggup menembus hangatnya kasih sayang mereka.
Aku ingin merasakan suasana itu lagi. Cukup hanya sekali lagi. Tapi aku sadar,
kini aku sudah tak bisa.
***
“Sebuah
komet langka yang muncul 20.000 tahun sekali diprediksi akan dapat dilihat
nanti malam, tanggal 26 Agustus 2020 pukul 03.00 WIB. Terutama bagi anda yang
berada di wilayah kota Atanis, adalah titik terdekat dengan jalur lintasan komet
sehingga komet akan terlihat jelas. Komet ini bercahaya emas. Tidak seperti
komet lain yang sinarnya putih. Pastikan anda melihatnya!” Berita itu muncul
lagi di acara TV yang kami tonton pagi ini. “Wah, nanti malam ya? Pas sekali
ya, kita tinggal di kota ini?” celetuk ayah. “Yah, Imel juga pengen liat
kometnya!” Seruku. “Iya, tunggu nanti malam ya?’ Jawab ayah lembut sambil
membelai kepalaku. “Sabar Imel, Ibu juga pengen liat kok. Sarapan dulu yuk!”
Ibu menimpali.
Pagi
ini berjalan seperti biasanya. Terlihat ayah sedang bersiap pergi bekerja.
Semerbak masakan ibu menyebar ke seluruh ruangan. Percakapan keluarga yang
akrab. Ya, seperti biasa. Mereka selalu tersenyum kepadaku. Selalu membelai
kepalaku dengan lembut. Selalu ada saat aku membutuhkan. Sekarang, aku ingin
waktu terhenti. Terus seperti ini.
***
Malam
ini, berlangsung sangat indah. Dengan beralaskan tikar pandan, dan diterangi
lampu taman kota, kami pun duduk berimpitan sambil menunjuk langit. “Imel,
lihat itu kometnya!” Seru ayah sambil menunjuk sebuah cahaya emas yang melesat
di tengah kegelapan langit. “Selamat ulang tahun, Imel!” Teriak ayah dan ibu
tiba-tiba bersamaan sambil memelukku. “Hadiahnya nanti ya, dirumah?” Kata
mereka sambil menatapku lembut. Berkilau. Malam ini langit sungguh berkilauan.
Sangat berkilau hingga cahayanya menyilaukan mataku. Apa ini? Mengapa cahayanya
semakin besar dan mendekat? Apakah komet memang seperti ini? Mendadak udara
terasa panas. Apakah karena ayah dan ibu memelukku terlalu erat? “Kaak...kaakk!”
Burung-burung gagak terbang menyebar meninggalkan sangkarnya. “Ayah, Ibu, aku
silau!” Seruku.
“BLAMM!!!.....PSSSHH....”
Gelap.
Semua berubah menjadi gelap. Kabut asap mengikutiku kemanapun aku berlari.
“Ayah, Ibu... aku takut....hiks..hiks...” Aku terus berteriak dan berlari.
Namun semua yang tampak hanya ke gelapan. Yang terdengar hanya kesunyian
malam. “Tolong.. tolong aku...siapapun...” Walau bagaimanapun kerasnya aku
berteriak, semua orang hanya diam tergeletak di tempatnya. Seakan aku benar-benar
sendirian di dunia yang suram ini. Aku terus berlari, aku ingin pulang dan
segera bangun dari mimpi buruk ini. Tetapi, dimana? Dimana rumahku? Aku tahu
persis jalannya. Aku tahu rumahku disini, tapi mengapa semuanya hanya
puing-puing bangunan? Aku terpaku menatap langit. Berusaha meyakinkan diriku
bahwa ini semua hanya mimpi. Ayo! Bangunlah! Mengapa aku tidak bisa bangun?
Ini kan hanya mimpi buruk?
“Imel....”
Hah? Itu suara ayah. Aku menoleh kebelakang. “Ayah?” Tatapku nanar melihatnya
berjalan terseok-seok. Nafasnya tersengal-sengal. Bajunya robek dimana-mana.
Kulitnya penuh dengan goresan hitam akibat luka bakar. “Imel, maafkan ayah dan
ibu, hadiahnya nggak jadi sekarang ya?” Tanya ayah. “Iya yah...nggak
papa, tapi mana ibu Yah? Imel mau ketemu ibu.
Hiks..hiks..”
Ayah
terdiam sejenak. “Kamu jangan nangis, ayah disini kok.
Jadilah anak yang baik ya Imel? Janji?” Kata ayah sambil mengacungkan
kelingkingnya, lalu memelukku. Semakin lama, pelukan itu semakin erat lalu
mulai merenggang, dan merenggang hingga ayah jatuh tergeletak di atas puing
bangunan. Aku tak menyangka itu adalah pelukan terakhirku dengan ayah. Tak
kuasa lagi aku membendung air mataku. Sekarang ini aku ingin berteriak
sekencang-kencangnya. “Ayaahh!!...Hiks...hiks...”
***
Entah
bagaimana aku bisa bertahan hidup dari kejadian maut itu. Mungkin Tuhan telah
menakdirkan ayah dan ibu untuk memelukku dan melindungiku. Mereka adalah
malaikatku. Yang jelas, setelah itu hingga sekarang aku tinggal bersama paman
di kota ini, Kediri.
Kutatap
foto itu sekali lagi. Foto berlatar belakang rumahku dahulu. Foto yang telah
menjadi bukti kasih sayang kami bertiga. Foto yang kupungut ditengah puing
bangunan beserta tas sekolah kecil bertuliskan “Selamat ulang tahun Imel
sayang....jadilah anak yang baik ya? Ayah dan ibu menyayangimu..” Foto yang
telah menjadi saksi bisu sebelum hilangnya kota kelahiranku, Atanis.
Ah, mengapa
setiap aku menatap langit malam harus begini? Lagi-lagi aku harus mengelap foto
yang basah dengan air mata. Tidak apa-apa, karena dengan begini aku akan
semakin sering untuk membersihkannya. Semoga kalian bahagia disana,
ayah...ibu...